::: Langganan Email :::

Masukkan Email Anda Untuk Mendapatkan Artikel Terbaru Via Email

Tulis Email Anda:

Dikirim Oleh FeedBurner

:: Lokasi Mancing :::

#Pantai Muara Satui Biaya per/trip Rp.
#Sungai Cuka Biaya Per/trip Rp.
#Muara Kintap Biaya per/trip Rp.
#Desa Bunati
Karang Mangkok & Karang Batu Cepa' per/trip Rp. 400rb
Contact Person : Marsudin/Codeng +6281256413452
#Sungai Dua Biaya per/trip Rp.
SFCKALSEL. Powered by Blogger.
Selamat Datang di SATUI FISHING CLUB ...... Mancing biar bisa kerja,Kerja biar bisa mancing !

Hikayat Rumpon Nelayan Mandar

Salah satu rumpon di Teluk Mandar.

Sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas secara sepihak merusak rumpon milik nelayan Mandar di perairan Selat Makassar. Investor yang mengantongi izin pemerintah ini dituding semena-mena karena memutus mata rantai usaha perikanan para nelayan yang sudah berlangsung sejak lama. Citizen reporter Ridwan Alimuddin melakukan penelitian tentang rumpon dan menyimpulkan bahwa alat bantu penangkapan ikan itu sangat kompleks: ekonomis dan efektif, melibatkan banyak tenaga kerja, dipasang di laut yang juga jalur lalu lintas laut dan lokasi minyak, mempunyai pranata dan kemampuan adaptasi teknologi dan merupakan salah satu puncak kebudayaan bahari di nusantara.

Dunia kemaritiman di Sulawesi Barat mengalami dua peristiwa penting sepanjang tahun 2007. Pertama, kegiatan Kampanye Makan Ikan yang gagal memecahkan rekor dan dikritik karena memboroskan anggaran sebesar hampir Rp400 juta. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan menuding kegagalan disebabkan karena banyak ikan yang tidak dibakar atau dimakan di lokasi kegiatan melainkan justru dibawa pulang oleh penduduk. Ada yang bilang, siapa suruh melakukan kampanye makan ikan di kampung pemakan ikan. Wajar saja kalau ikannya dibawa pulang!

Peristiwa kedua adalah konflik antara nelayan Mandar dengan investor tambang minyak dan gas. Peristiwa ini dikenal sebagai “kasus rumpon”, sebab ditandai dengan pemutusan ratusan rumpon milik nelayan oleh kapal survei minyak milik investor itu.

Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang terdiri dari pelampung (bambu atau gabus), alat pemikat (daun kelapa yang dipasang di bawah pelampung), dan pemberat (batu). Rumpon yang mirip dengan rakit, dalam bahasa Mandar disebut roppo atau roppong atau dalam bahasa Bugis - Makassar disbeut rumpong.

Meski hanya sebagai alat bantu penangkapan, keberadaan rumpon amat penting. Bisa dikatakan, kebudayaan bahari Mandar tidak berkembang seperti saat ini bila tak ada rumpon. Hampir semua aktivitas kemaritiman nelayan Mandar berhubungan dengan rumpon, baik langsung maupun tidak langsung. Sandeq misalnya. Perahu ini didesain untuk beroperasi di laut dalam tempat rumpon berada. Sandeq dibuat ringkih tapi kuat agar lincah mengejar ikan di sekitar rumpon. Nelayan Mandar juga identik dengan nelayan spesialisasi ikan pelagis besar (tuna) yang lebih mudah ditangkap di sekitar rumpon. Bahkan nelayan yang beroperasi di pesisir pun menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan, yaitu menarik perhatian ikan.

Saat ini, sebagian besar pendapatan dari sektor perikanan di Sulawesi Barat berasal dari pemanfaatan rumpon, baik yang berada di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Banda, dan perairan selatan Bali dan Lombok.

Asal rumpon
Kawasan laut dalam di sepanjang Selat Makassar (perairan Tolitoli di utara hingga utara Pulau Kapoposang di selatan) dipenuhi rumpon yang dipasang nelayan yang bermukim di pesisir. Kampung nelayan di wilayah ini di antaranya terdapat di Kabupaten Mamuju Utara dan Mamuju, pesisir Teluk Mandar (Majene dan Polman), Ujung Lero (Pinrang), dan Pulau Kapoposang/Pandangang (Pangkep).

Schlais (1981) dalam sebuah publikasi badan PBB, FAO, menyebut bahwa teknologi rumpon diduga pertama kali dikembangkan oleh nelayan Mandar. Informasi ini mendorong saya untuk memahami lebih lanjut meski pencarian informasi relatif susah sebab referensi mendalam mengenai kebudayaan bahari Mandar, khususnya rumpon, belum banyak. Di antara yang sedikit itu, adalah tesis karya Baharuddin Lopa berjudul Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan (Penerbit Alumni, Bandung, 1982).

Rujukan lebih lama ditulis Caron (1937), Gubernur Sulawesi pada zaman Belanda, yang menerjemahkan sebuah naskah lontara dari Soppengriaja. Ia menjelaskan bahwa rumpon adalah potongan-potongan bambu panjang yang ditanam di dasar laut dengan diikatkan daun-daun kelapa, yang berfungsi sebagai tempat persembunyian ikan. Nijhoff (1919) di dalam bukunya memberi penjelasan bahwa apa yang disebut rumpon adalah bedekken (menutupi) yang kemudian diartikan sebagai alat untuk menutupi sebatang pohon agar tidak dapat dipanjat; juga dapat diartikan sebagai menutupi suatu jalan agar tidak dapat dilalui orang (Kamus Mandar-Indonesia oleh Abdul Muthalib, 1977).

Dari dua pengertian tersebut, Lopa menyimpulkan bahwa rumpon dapat diartikan sebagai batas wilayah teritorial laut beberapa kerajaan di kawasan pesisir barat Pulau Sulawesi (atau pesisir utara Provinsi Sulawesi Barat sekarang ini), selain fungsi utamanya sebagai alat pengumpul ikan.

Lopa mengemukakan, awalnya rumpon adalah batas beberapa kerajaan di tanah Mandar yang terletak di laut. Alasan itu dapat dirujuk pada peristilahan roppo yang berarti “menutupi”. Kegiatan menutupi kulit suatu pohon produktif dengan bahan pelindung agar tidak dikuliti atau dimakan kambing disebut marroppo’i. Istilah juga berlaku jika memberi pagar atas suatu kebun.

0 comments:

BAGI FISHER's YANG PUNYA INFO TENTANG BERITA MANCING BAIK EVENT MAUPUN CLUB KIRIMKAN PHOTO KEGIATAN ANDA KE sfckalsel@gmail.com